BacaJuga: Bunda Wajib BACA! 6 Sifat Istri yang Mendatangkan Rezeki Bagi Suami, Nomor 5 Sering Diabaikan Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazalie menyebutkan . قَالَ بَعْضُ العَرَبِ (لاَ تَنْكِحُوا مِنَ النِّسَاءِ سِتَّةٌ لاَ أَنَّانَةَ وَلاَ مَنَّانَةَ وَلاَ حَنَّانَةَ وَلاَ
Ihya Ulumuddin merupakan sebuah kitab pegangan para penganut tasawuf amali karangan Imam Al-Ghazali. Kitab ini, memang masih eksis hingga hari ini dan masih umum dikaji di berbagai pesantren di Indonesia. Namun, kepopuleran kitab ini sempat mengalami ancaman pemusnahan ketika lelaki tawadhu yang selalu menjaga hadis dan sunah Nabi saw bernama Abul Hasan Ali bin Harzahim dibuat ragu oleh Ihya Ulumuddin. Satu ketika Abul Hasan Ali bin Harzahim membuka salinan kitab Ihya Ulumuddin dan mendapati banyak hadis yang dianggapnya daif. Atas dasar itu, di suatu malam ia sempat tidak bisa tidur dengan tenang karena kegeramannya dengan karya Imam Ghazali itu. baca juga Mantan BAIS TNI Desak Mabes Polri 'Garap' Bos Mafia Judi Online Pesan Kemerdekaan AHY Mari Songsong Masa Depan Indonesia yang Lebih Baik Presiden Jokowi Pimpin Upacara Penurunan Bendera Merah Putih Kegundahan hati yang dialami Abul Hasan Ali bin Harzahim itu memaksanya untuk berniat membakar dan memusnahkan kitab tersebut. Singkat cerita, Abul Hasan Ali bin Harzahim membuat pengumuman kepada seluruh penduduk setempat untuk mengumpulkan salinan kitab Ihya Ulumuddin bagi siapa saja yang memiliki. Awalnya, banyak kalangan yang menolak perintah tersebut, tetapi berkat karisma, kealiman dan ketawadhuan Abul Hasan Ali bin Harzahim akhirnya banyak yang menyanggupinya. Menjelang malam, penduduk di sekitar kediaman Abul Hasan Ali bin Harzahim berbondong-bondong untuk menyerahkan kitab Ihya Ulumuddin itu. Setelah terkumpul, Abul Hasan pun segera mengumumkan kepada para warga bahwa rencana pemusnahan Ihya Ulumuddin akan dilakukan esok harinya karena hari itu sudah mulai gelap. Abul Hasan yang merasa kelelahan karena aktivitasnya sehari itu pun kemudian tertidur lelap hingga membawanya ke alam mimpi. Dalam mimpi itu, Abul Hasan menjumpai Rasulullah saw sedang bersama sahabat Abu Bakar As-Shiddiq dan Abu Hamid Al-Ghazali sang pengarang kitab Ihya Ulumuddin. Di saat Abul Hasan akan mendekati Rasulullah, Al-Ghazali lantas mengadu, "Orang ini, Abul Hasan Ali bin Harzahim, membenci dan memusuhiku, ya Rasulullah. Jika memang masalahnya adalah sebagaimana prasangkanya, maka tentu aku akan langsung bertobat. Akan tetapi, jika tidak, maka bagiku berkahmu senantiasa untukku dan aku masuk ke dalam golongan hamba yang mengikuti sunahmu.” Sontak saja setelah mendengar perkataan Imam Ghazali itu, Rasulullah langsung mengambil kitab Ihya Ulumuddin dan membuka halaman demi halaman sembari berkata, "Demi Allah yang mengutusmu dan membimbingmu ke arah kebenaran, ini benar-benar sesuatu yang baik.” Setelah itu, turunlah perintah kepada Nabi saw untuk mencambuk Abul Hasan Ali bin Harzahim karena fitnah yang dituduhkan terhadap Imam Al-Ghazali. Hukuman cambuk dalam mimpi itu pun dilakukan Rasulullah saw kepada Abul Hasan sebelum Abu Bakar As-Shiddiq memberhentikannya. "Demi Allah wahai Rasulullah, Abul Hasan ini adalah orang yang telah menjaga hadis dan sunahmu. Ia berprasangka ada penyelewengan yang menimpa hadismu. Sayangnya prasangkanya salah. Ia adalah hamba yang mulia,” kata Abu Bakar As-Shiddiq. Cambukan itu pun lantas dihentikan dan membuat Abul Hasan terbangun. Tetapi anehnya, rasa sakit karena cambuk dalam mimpi itu tetap terasa di bagian dada sebelah kiri meski tidak ada luka sama sekali. Atas dasar itu, Abul Hasan Ali bin Harzahim mengurungkan niatnya untuk membakar kitab Ihya Ulumuddin. Wallahu a'lam.[]
Docdatawika.com. Pengajian rabu sore, Kitab Ihya Ulumuddin Di Masjid Agung Brebes, dibacakan dan diterjemahkan oleh KH. Subhan Makmun Pengasuh Ponpes Assalafiyah Luwungragi Bulakamba Brebes. Topik Ngaji adalah " Dzikir Lisan (Qauli), Dzikir Hati (Qolbi) dan Dzikir Tindakan (Jawarih) ".
Tak banyak yang tahu, Ihya` Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya. Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupa-kan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya sego-longan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah. Rasulullah n bersabda “Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586 Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi berkata “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab Al-Quran, red. dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar hadits, red., melarang duduk bersama ahlul kalam kaum filsafat, dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322 Ibnu Mas’ud z berkata “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” Al-Ibanah, 1/322 Mengingat hal ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya Ulumiddin yang selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak! Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` Ulumiddin dan bantahannya secara global. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah I, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah I. Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah I tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna dhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28 Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan Allah I pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah n, dan mengesakan Allah I pada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah n sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagai-mananya kaifiyah, atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81 Sebagai contoh, Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwaartinya naik di atas Arsy dengan istaula menguasai. lihat Ihya Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih. Allah I berfirman “Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.” Al-A’la 1 “Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” An-Nisa` 34 “Ar-Rahman ber-istiwa` di atas Arsy-Nya.” Thaha 5 Rasulullah n bersabda “Ketika Allah menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas Arsy…” HR. Al-Bukhari dan Muslim Al-Imam Al-Qurthubi t berkata “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah I benar-benar ber-istiwadi atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya.” Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal. 187 2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” IhyaUlumiddin, 1/22 Aqidah yang bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah. Allah I berfirman “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” Al-Ahzab 21 Asy-Syaikh As-Sa’di t “Contoh yang baik adalah Rasulullah n. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyam-paikan kepada kemuliaan Allah I. Inilah jalan yang lurus.” Al-Imam Al-Barbahari t “Ketahui-lah –semoga Allah I merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” Syarhus Sunnah, hal. 93 Ibnu Rajab t berkata “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata. Tak sedi-kit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun ahli ilmu kalam itu berniat membela As-Sunnah.” Fadhlu Ilmis Salaf alal Khalaf, hal. 43 Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” Abu Hamid Al-Ghazali Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9 Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika Kita berlindung kepada Allah I dari hal itu. 3. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian a. Ilmu dhahir ilmu muamalah. b. Ilmu batin ilmu kasyaf. Ihya` Ulumiddin, 1/19-21 Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupa-kan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkap-nya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. Ash-Shufiyah wa Taatstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114 Sungguh menakutkan keadaan mere-ka. Bukankah Allah I telah berfirman “Katakanlah tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.” An-Naml 65 “Dialah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan dengan para malaikat dari depan dan belakangnya.” Al-Jin 26-27 Ibnu Katsir t berkata “Sesungguh-nya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah I beritahukan kepadanya.” Tafsir Ibnu Katsir, 4/462 Rasulullah n bersabda “Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.” Kemudian beliau membaca ayat “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Luqman 34 [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Shahihul Jami’, 6/361] Ibnu Hajar t berkata “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah I. Dan segala perkara ghaib yang Nabi n kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah I kepadanya. Dan tidaklah beliau mengeta-hui dari dirinya sendiri.” Fathul Bari, 9/203 Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah I. 4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf. Seba-gai contoh Al-Ghazali menafsirkan firman Allah I “Dan jauhkan aku serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” Ibrahim 35 Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! Ihya` Ulumiddin, 3/235 Cara seperti ini merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari pemahaman salafush shalih. Allah I berfirman “Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ali Imran 31 “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” An-Nisa 115 Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. Majmu’ Fatawa, 13/231 Keadaan ini menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Quran secara ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. Majmu’ Fatawa, 13/236 5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. IhyaUlumiddin, 3/334 Ia berkata “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” Ihya Ulumiddin, 3/24 Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” Talbis Iblis, hal. 137 Abdurrahman Al-Badawi berkata “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. Ash-Shufiyyah wa Taatstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64 Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala wal-bara`. Allah I berfirman “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” Al-Hasyr 19 “Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” Al-Jatsiyah 18 Rasulullah n bersabda “Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669 “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116 Bahkan Rasulullah n dengan jelas menyatakan “Tidak ada kependetaan dalam Islam.” Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7 Sungguh perilaku Shufiyyah merupa-kan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas freedom of thinking is every-thing. 6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. Ihya, 3/18-19 Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah I, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. Ash-Shufiyah wa Taatstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115 Bahkan Al-Ghazali berkata “Sesung-guhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.” Kemudian beliau menambahkan “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. IhyaUlumiddin, 3/18-19 Beliau juga berkata “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” Ihya Ulu-middin, 3/20 Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepan-jangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, ke-kuatan perasaan dan batin.” Abu Hamid Al-Ghazali Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35 Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguh-nya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” Abu Hamid Al-Ghazali Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38 Ibnu Taimiyyah t berkata “Sesung-guhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita dari Rasulullah n tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan musyahadah1, nur, dan kasyaf.” Daru Ta’arudhil Aql wan Naql, 5/347 Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” Ihya Ulumiddin, 1/18 Ibnul Jauzi t berkata “Kebencian-nya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” Talbis Iblis hal. 374 Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang dhahir dan yang batin. Allah I berfirman “Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” Al-Munafiqun 7 Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam dhahir-dhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu Abbas c yang didoakan oleh Nabi n Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” Abu Hamid Al-Ghazali Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45 Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah n sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah I berfirman “Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” Al-Ma`idah 3 “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” Ali Imran 164 7. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah I dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan de-ngan pandangan tauhid. Hal ini meng-ajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai2. Inilah pan-dangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” IhyaUlumiddin, 4/86 Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. Ihya Ulumiddin, 4/247 Ibnu Taimiyyah t berkata memban-tah keyakinan yang bejat ini “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah I berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah Bagaimana mungkin Allah I berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimana-kah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” Majmu’ Fatawa, 2/126 Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah I ber-istiwa` di atas Arsy dan Allah I tidak membutuhkan Arsy. Dan Allah I tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya. Allah I berfirman “Ar-Rahman ber-istiwa` di atas Arsy.” Thaha 5 “Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.” Yunus 3 “Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Asy-Syura 11 8. Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami uzlah. Al-Ghazali berkata “Dalam uzlah menyingkir dan menjauhi umat, ada jalan keluar kedamaian. Adapun dalam ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkit-kan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya keba-nyakannya akan menyesal.” IhyaUlumiddin, 2/228 Bahkan dengan khalwat akan tersing-kap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. Ihya Ulumiddin, 3/78 Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi q Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya. q Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah I baginya. q Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia. q Tidak berbicara. q Tidak memikirkan kandungan makna Al-Quran dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya. q Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya. q Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. Ash-Shufiyah wa Taatstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186 Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan. Makna uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpa-nya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. lihat Ash-Shufiyyah wa Taatstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188 Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan 9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian daripada membaca Al-Quran. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata “Dan apabila hati telah terbakar mabuk dalam kecintaan kepada Allah I, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Quran.” IhyaUlumid-din, 2/301 Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat. Ibnu Taimiyyah t berkata “Berkumpul untuk mendengarkan dendang-an-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in tidak pernah melakukannya.” Majmu’ Fatawa, 11/57 Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir dendang kero-hanian yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari Al-Quran. Dan Yazid bin Harun berkata “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” Majmu’ Fatawa, 11/569 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata “Orang yang membiasakan men-cari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Quran. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Quran sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” Majmu’ Fatawa, 11/568 Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah I “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” Al-Anfal 2 “Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” Ar-Ra’d 28 10. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menase-hatiku Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyang-ka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata Maka aku buang bekalku’.” IhyaUlumiddin, 4/271 Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Quran dan As-Sunnah. Allah I berfirman “Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” Al-Baqarah 197 Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata “Allah I memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak diberkahi ini yakni haji. Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” Taisirul Karimirrahman hal. 74 Al-Ghazali berkata “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud kedudukan terpuji yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” IhyaUlumiddin, 4/276 Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari “Apakah Rasulullah n telah keluar dari tingkatan orang-orang yang berta-wakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” Abu Hamid Al-Ghazali Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79 Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. Abu Hamid Al-Ghazali Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89 11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah n, seperti nikah. Al-Ghazali berkata “Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” Ihya Ulumiddin, 3/101 Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah n “Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78 Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab IhyaUlumiddin3 Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata “Di dalam kitab Ihya, beliau yakni Al-Ghazali menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’. Ibnul Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”4 Abu Ali Ash-Shadafi berkata “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berba-gai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.” Adz-Dzahabi berkata “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.” Ahmad bin Shalih Al-Jaili “Al-Ghazali adalah seorang yang fatwa-fatwa-nya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demi-kian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencam-purkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.” Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah n. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.” Semoga Allah I selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan. Wallahu a’lam. 1 Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah I yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya. 2 Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah. 3 Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh 4 Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah t mengatakan “…Oleh karena itu, menjadi jelas baginya Al-Ghazali, ed di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi n. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed Sumber Artikel Dengan Judul Aslinya Mengurai Kesesatan Ihya’ Ulumuddin Selamat menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya & sebenar-benarnya.Membakarkitab itu sama dengan membakar mushaf yang dibakar oleh para shahabat dengan tujuan agar tidak menyelisihi mushaf Utsmani . Bahkan menurut Imam At Thurtusi, karya Abu Hamid Al Ghazali ini tak pantas disebut Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama), tetapi lebih pantas disebut dengan Imatatu Ulumuddin (mematikan ilmu Kitab Iḥya Ulūmiddin termasuk kitab terakhir dikarang oleh Hujjat al-Islam al-Ghazali selanjutnya disebut al-Ghazali. Sesuai dengan arti dari judulnya, kitab Iḥya ditulis dengan tujuan menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama dianggapnya sudah terkubur. Oleh karena itu, wajar jika kitab tersebut banyak mencakup berbagai disiplin ilmu agama, khususnya yang membawa kebahagian di penuturannya, al-Ghazali menerangkan di awal kitab bahwa Iḥya terdiri dari empat rubu, pertama rubu al-ibadat, kedua rubu al-adat, ketiga rubu al-muhlikat, dan keempat rubu rubu ibadat merupakan pembahasan mengenai pengantar mengenai ilmu secara sistematis dan sederhana, ilmu Tauhid secara mendalam, dan rahasia-rahasia ibadah lengkap dengan sudut pandang rubu ini tercakup sepuluh pembahasan, yaitu Kitab al-Ilm, Qawaid al-Aqaid, Asrar al-Thaharah, Asrar al-Shalah, Asrar al-Zakah, Asrar al-Shiyam, Asrar al-Ḥajj, Tilawat al-Quran, al-Adzkar wa al-Daawat, dan Tartīb rubu al-Adat, al-Ghazali membicarakan mengenai adab-adab sehari-hari sampai kepada adab kenabian. Sebagaimana sebelumnya, pada rubu kedua juga tercakup sepuluh pembahasan, yaitu Kitab Adab al-Akl, Adab al-Nikaḥ, Adab al-Sama, Adab al-Kasb, al-Ḥalal wa al-Haram, Adab al-Shuḥbah, al-Uzlah, Adab al-Safar, Adab al-Sama wa al-Wajd, al-Amr bi al-Marūf wa al-Nahy an al-Munkar, dan Akhlaq rubu al-Muhlikat, al-Ghazali mulai menyentuh sisi spritual dengan membahas keajaiban hati, metode riyadhah latihan spritual, serta pengkajian terhadap penyakit-penyakit spritual sesuai dengan al-Qur’ rubu ketiga ini, al-Ghazali juga mengemukakan sepuluh pembahasan, yaitu Kitab Syarḥ Ajaib al-Qalb, Riyadhat al-Nafs, Afat al-Syahwatayn, Afat al-Lisan, Afat al-Ghadhb wa al-Hiqd wa al-Ḥasd, Dzam al-Dunya, Dzam al-Mal wa al-Nakhl, Dzam al-Jah wa al-Riya, al-Kibr wa al-Ujub, dan al-Ghurūr. Kemudian pada rubu al-Munjiyat, al-Ghazali membicarakan maqamat dan aḥwal para sufi sesuai dengan keterangan-keterangan yang bersifat syari dan aqli. Pada rubu keempat ini, juga terdapat sepuluh pembahasan yaitu Kitab al-Tawbah, al-Shabr wa al-Syukr, al-Khawf wa al-Raja, al-Faqr wa al-Zuhd, al-Tawḥid wa Tawakkul, al-Maḥabbah wa al-Syawq wa al-Ridha, al-Niyyah wa al-Shidq, wa al-Ikhlash, al-Muraqabah wa al-Muḥasabah, al-Tafakkur, dan Dzikr motivasi al-Ghazali menulis kitab Iḥya dengan sistematika seperti di atas dikarenakan dua hal -sebagaimana ia ungkapkan sendiri. Pertama, sistematika dan kajian demikian merupakan sesuatu yang dharuri penting. Ini dikarenakan ilmu yang bisa mengantarkan kepada pengetahuan tentang akhirat ada dua, yaitu ilmu muamalah dan mukasyafah. Al-Ghazali menegaskan bahwa kitabnya tersebut hanya bertujuan menyajikan ilmu muamalah agar mudah dipraktekkan secara ilmu mukasyafah hanya dibicarakan melalui simbolik dan isyarat saja, karena para Nabi juga tidak membicarakannya secara eksplisit. Namun terdapat korelasi antara dua ilmu ini, karena ilmu muamalah akan mengantarkan dan membuka khazanah ilmu kedua, keinginan al-Ghazali mengobati “penyakit spiritual” dan membimbing para penuntut ilmu Fiqih. Ini dikarenakan kebanyakan mereka cenderung kepada hasrat duniawi seperti suka pamer dan mencari kepopuleran. Dengan sistematika di atas terutama pada rubu al-Ibadah yang banyak menyentuh dunia fiqih, maka pengajaran spritual dapat mereka serap secara Kitab IḥyaIlmuwan pertama yang melakukan ikhtishar terhadap Iḥya adalah saudaranya sendiri Abu al-Futuḥ Aḥmad al-Ghazali 520 H.. Abu al-Futuḥ memberi judulnya dengan Lubab Iḥya. Setelah itu, langkah ini diikuti oleh Aḥmad bin Musa al-Mawshuli 622 H.. Begitu juga diteruskan oleh Muḥammad bin Said al-Yamani, Muḥammad bin Umar al-Balkhi, Abd al-Khatib al-Maraghi ketika berada di Bayt al-Muqdis, Muḥammad bin Ali al-Ajluni yang masyhur dengan nama al-Hilali, al-Suyuthi 911 H. dan A’ Selanjutnya Para Pengkaji Hadis-hadis dalam Kitab Ihya Ulumiddin Karya Al-Ghazali
Segalahasil-hasil tulisan beliau telah mempengaruhi pemikir Islam setelahnya, seperti Jalaluddin ar-Rumi, Syeikh Al-Ashraf, dan Ibnu Rusyd. Kebanyakkan hasil-hasil karya Imam Al-Ghazali berbentuk filsafat. Oleh hal yang demikian ilmuwan Barat menganggap, Imam Al-Ghazali adalah seorang ahli filsafat. Hasil-hasil karya beliau antara lain: Ihya
- Pada suatu petang, Abul Hasan Ali bin Harzahim tampak sibuk. Lelaki tawaduk bertubuh kekar itu mondar-mandir di depan tempat tinggalnya. Perasaan ganjil menyergapnya. Air mukanya tidak tenang, napasnya tak teratur. Sesekali ia memegang janggutnya yang mulai tiga hari ia dirundung kekalutan. Musababnya ia mendapati kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, yang berdasarkan telaah dan penelitiannya, penuh dengan hadis daif dan tidak begitu kuat keaslian sanad dan matannya. Kekalutan itu mendorongnya pada sebuah keputusan untuk memusnahkan salinan kitab segera mengumumkan kepada penduduk kota, siapa saja yang memiliki salinan kitab Ihya Ulumiddin harus dikumpulkan di balai pertemuan. Mula-mula banyak yang menolak. Namun, karisma, kealiman, dan kezuhudan Abul Hasan Ali bin Harzahim akhirnya membuat mereka menaati pengumuman tersebut. Penduduk berbondong-bondong menyerahkan naskah kitab Ihya Ulumuddin yang mereka miliki. Saat naskah sudah terkumpul banyak, hari telah kian petang. Atas instruksinya, semua naskah akan dibakar keesokan harinya setelah salat malam belum begitu larut, tiba-tiba Abul Hasan Ali bin Harzahim merasa amat lelah. Engsel-engsel persendiannya terasa linu dan seolah hendak patah. Beberapa saat kemudian kantuk pun datang dan membuatnya terlelap. Ia bermimpi didatangi Rasulullah Hasan Ali bin Harzamin melihat Rasulullah bersama sahabat Abu Bakar As-Shiddiq dan Abu Hamid Al-Ghazali, penulis kitab Ihya Ulumuddin, sebuah karya yang dalam tiga hari belakangan mengusik ketenangan ia hendak mendekat kepada Rasulullah, Al-Ghazali segera berkata, “Orang ini, Abul Hasan Ali bin Harzahim ini, membenci dan memusuhiku, ya Rasulullah. Jika memang masalahnya adalah sebagaimana yang ia sangka, maka tentu aku akan langsung bertobat. Tapi, jika tidak, maka bagiku berkahmu senantiasa untukku dan aku masuk ke dalam golongan hamba yang mengikuti sunnahmu.”Mendengar ucapan Al-Ghazali, Nabi Muhammad segera mengambil kitab Ihya Ulumuddin dan membukanya halaman demi halaman. “Demi Allah yang mengutusmu dan membimbingmu ke arah kebenaran, ini benar-benar sesuatu yang baik,” ucap Rasulullah. Saat itu juga turun perintah kepada Nabi Muhammad untuk membuka baju Abul Hasan Ali bin Harzahim, dan menghukumnya dengan cambukan karena fitnah dan tuduhannya terhadap Imam Al-Ghazali. Hukuman cambuk pun dilaksanakan. Pada cambukan kelima, Abu Bakar Ash-Shiddiq menginterupsi Rasulullah. Ia membelanya karena tak tega melihat Abul Hasan Ali bin Harzahim. “Demi Allah, Ya Rasulullah, Abul Hasan Ali bin Harzahim adalah orang yang telah menjaga hadis dan sunahmu. Ia menyangka ada penyelewengan yang menimpa hadismu. Sayangnya prasangkanya salah. Ia adalah hamba yang mulia,” ucap Abu Bakar. Cambukan dihentikan, hukuman diakhiri, dan saat itu pula Abul Hasan Ali bin Harzahim terjaga. Ia merasakan nyeri yang sangat di dada bagian kiri. Tidak ada bekas cambukan, tapi rasa sakitnya cukup lama. Kelak, rasa sakit itu hilang ketika suatu hari ia bermimpi kembali bertemu dengan Rasulullah yang mengusap-usap punggungnya. Infografik Hikayat I Love tasawuf. Pegangan Penganut Tasawuf Amali Cerita ini sangat populer diriwayatkan dalam pelbagai versi. Salah satunya diabadikan dalam kitab Ta'riiful Ahyāi bi fadhaailil Ihyaai 1987 karya Zainuddin Al-Iraqi. Dalam kitab tersebut ia menyatakan keunggulan Ihya Ulumuddin “Kitab tersebut termasuk kitab yang paling agung dalam persoalan pengetahuan halal dan haram. Ia menghimpun hukum-hukum perkara lahiriah, dan memberikan landasan pemahaman seluk baluk dan rahasia-rahasianya. Kitab ini mendedahkan mutiara-mutiara indah. Menggunakan metode-metode moderatisme karena mengikuti ucapan imam Ali, 'Sebaik-baik urusan umat ini adalah yang tengah-tengah, yang diikuti generasi selanjutnya dan orang yang berlebihan kembali padanya'." hlm. 9Kitab Ihya Ulumuddin yang sempat disangsikan oleh Abul Hasan Ali bin Harzahim sampai saat ini merupakan pegangan bagi kalangan penganut tasawuf amali. Melalui kitabnya, Al-Ghazali dinilai mampu mendamaikan rasionalisme disiplin ilmu kalam yang ortodoks dengan operasionalisasi fikih terapan dan argumentasi filsafat yang mumpuni. Kitab ini oleh para ulama dianggap sebagai penanda puncak keemasan disiplin ilmu tasawuf amali. Saking cemerlangnya Al-Ghazali, ada sebuah cerita yang menyebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah bertemu dengan Nabi Isa, dan ruh Imam Al Ghazali dipanggil untuk "dipamerkan". Rasulullah bertanya kepada Nabi Isa apakah di antara umatnya ada ulama yang seperti Al-Ghazali. “Tidak ada,” jawab Nabi Isa. “Ulamāu ummaty kaanbiyāi bani Isrāil,” demikian seloroh Nabi Muhammad yang artinya ulama-ulama di kalangan umatku setara dengan Nabi-nabi Bani Israel. Ungkapan bernada ejekan kemesraan itu menggambarkan kualitas kealiman dan kecemerlangan ulama-ulama dari kalangan umat Muhammad yang diwakili oleh Al-Ghazali.==========Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM. - Sosial Budaya Penulis Fariz AlniezarEditor Irfan Teguh
Apalagial Qur’an adalah kitab suci yang berbeda dengan bacaan lainnya. Memang sering timbul perbdebatam, apakah kisah-kisah tersebut benar-benar memiliki landasan historis atau sebaliknya, sebagai kisah yang ahistoris, sejauh manakah posisi al Qur’an dalam memandang sejarah sebagai suatu realitas.Al-Ghazali bukanlah sosok yang asing di telinga umat Islam. Di Indonesia, misalnya, tak sedikit para orang tua yang menamai putranya dengan nama tersebut, tak terkecuali artis Ahmad Dhani yang memberi nama anak pertamanya Ahmad al-Ghazali. Popularitas al-Ghazali mendunia karena dia besar sebagai ahli filsafat dan tasawuf pada masa pemerintahan Khilafah Abbasiyah abad ke-5 H 10 M.Al-Ghazali bukan terlahir dari keluarga kaya, dermawan,apalagi dari keturuan raja-raja besar Persia. Dia hanyalah anak dari seorang ayah pemintal benang wool. Tinggal di kota kecil yang jauh dari ibukota, tepatnya di Ghazaleh, Thus, Khurasan, Iran. Masa kecilnya penuh dengan kesederhanaan, akan tetapi dia mendapatkan pendidikan moral yang baik dari orang kecil, al-Ghazali sudah menggemari ilmu pengetahuan. Dia melakukan perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan bimbingan dari banyak guru. Dia mempelajari Fiqih, Tasawuf, Filsafat, dan berbagai ilmu lainnya. Hanya, yang paling menonjol dari pribadinya adalah ilmu Tasawuf dan tergolong sebagai salah satu ilmuwan muslim yang produktif dalam menuliskan ide-idenya. Menurut sebuah sumber, ada sekitar 300 buku yang sudah ditulisnya, beberapa yang populer yaitu Fatihatul Ulum, Ayyuhal Walad, Ihya’ Ulumuddin, Mizanul Amal, al-Risalah al-Laduniyyah, Miskat al-Anwar, Tahafut al-Falasifah, dan Mi’yar al-Ilm, dan Minhajul dua karya bukunya yang paling terkenal, yaitu Ihya’ Ulumuddin dan Tahafut al-Falasifah banyak dipelajari umat Islam hingga hari ini. Di berbagai lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasaa, dua kitab ini masuk dalam daftar rujukan bahan bacaan para siswa/santri. Ihya’ Ulumuddin adalah buku tasawaf, sementara Tahafut al-Falasifah adalah karya hasil pemikiran Ulumuddin ditulis oleh al-Ghazali sekitar tahun 500 H 1100 M. Kitab ini menjelaskan tentang kaidah dan prinsip penyucian jiwa, sifat takwa, zuhud, cinta, menjaga hati, dan ikhlas dalam beragama. Lebih dari itu, buku ini juga mengulas berbagai kewajiban umat Islam, misalnya, menuntut ilmu, mendidik dengan cara Islam, menjaga kebersihan, shalat, akhlak dan adab berprilaku, dzikir dan doa, persaudaraan, obat hati, ketenangan jiwa, bahaya lisan, taubat, menjauhi sifat sombong, cinta rasul, dan yang terkandung dalam Ihya’ Ulumuddin seringkali dijadikan rujukan para sarjana sebagai pendekatan pendidikan moral anak. Mengenai hal ini, Al-Ghazali membagi pengembangan pendidikan nilai moral menjadi dua Pertama, bersungguh-sungguh dalam membiasakan diri mempraktikkan perbuatan baik sejak dini; Kedua, senantiasa memuji kepada Allah swt dan dilakukan secara juga menambahkan, bahwa pemahaman mengenai moral Islam dapat dilakukan melalui pendekatan formal dan informal. Pendidikan informal dapat diberikan kepada anak ketika berkumpul dengan keluarga di rumah melalui pemberian cerita-cerita sejarah dan keteladanan orangtua. “Melalui pendekatan ini, anak akan berlatih dan meniru perilaku orang tua secara berkelanjutan, dan orangtua bisa memonitor perkembangan perilaku anak,” tulis al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin cetakan versi Dar al-Taqwa, Kairo 2000, dikutip dari Masturhah Ismail dkk, dalam Educational Strategies to Develop Discipline among Students Procedia, 2013.Sementara Tahafut al-Falasifah berisi tentang gagasan filsafat yang menyebut kerancuan pemikiran sejumlah filosof sebelumnya. Dia menolak metafisika Aristoles yang dipahami oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Bahkan, dia merangkum kerancuan-kerancuan tersebut menjadi 20 poin penting. Dengan sangat keras, al-Ghazali menyebut kerancuan pikiran para filosof yang hidup sekitar satu abad sebelumnya itu dapat mengantarkan umat Islam pada jalan kebohongan, kesesatan, kemurtadan, dan bid’ seorang muslim, keteguhan al-Ghazali dalam menuntut ilmu patut diteladani. Meski dia hidup di tengah-tengah abad “perang ideologi, aliran, dan faham keagamaan”, namun pemikirannya tetap tidak terseret pada kesesatan hidup ketika pemikiran Islam berada pada tingkat perkembangan yang paling tinggi. Berbagai pemikiran keagamaan itu tidak hanya berhenti sebagai olah budi individual, tetapi berkembang menjadi banyak aliran dengan metode dan sistemnya perkembangan, menurut Muhammad Yasir Nasution 1988 ini memperlihatkan wujudnya dalam tingkat keragaman yang tinggi. [] Nafi’ Muthohirin *Penikmat Kajian Pemikiran Islam, tinggal di Malang
. 46148784458397240425211